“Ya Allah, Jika Memang Kau Menginginkanku Mati Hari Ini, Maka Matikanlah Aku Sebagai Syuhada. Dan Jika Kau Izinkan Aku Tetap Hidup, Maka Jadikanlah Hidupku Penuh Kemanfaatan Bagi Orang Lain”
-Fitra Jaya Saleh, doa yang diucapkan sambil berlari di tengah buruan peluru, saat meletusnya Konflik Ambon-
Beliau asli orang timur. Lahir dan merasakan manisnya perjuangan dari tanah Maluku. Ayahnya seorang penjahit, dan ibunya seorang penjual baju. Tentu beliau bukan berasal dari keluarga kaya. Lihat saja perjuangan beliau yang harus turun tangan membantu perekonomian keluarga. Beliau yang waktu itu masih seumuran SD-SMP harus berbagi tugas dengan Ibunya. Sang Ibu menjual baju dengan cara kredit, dan beliau -yang terlahir dengan nama Fitra Jaya Saleh- bertugas menjadi penarik setoran dari mereka yang menghutang baju ke sang ibu. Tentu bukan pekerjaan yang ringan untuk anak seusia itu. Bayangkan saja, anak sekecil itu harus datang dari satu rumah ke rumah yang lain untuk menagih hutang. Tak jarang pula rumah yang beliau kunjungi –saking jauhnya- harus ditempuh dengan angkot. Tapi inilah hebatnya Mas Fitra. Beliau memilih jalan kaki, sejauh apapun rumah yang harus didatangi. Beliau tidak rela uang yang dikumpulkan dari rumah ke rumah –yang tak jarang juga dapet rumah zonk- itu harus berpindah tangan lagi ke sopir angkot. Hehe. Anak sekecil itu sudah benar-benar memahami arti sebuah perjuangan. Ini kan hebat!
Seperti itu kira-kira, gambaran singkat masa kecil yang dialami mantan presiden BEM Fakultas Ekonomi UNS ini. Sampai kemudian, ada dua tragedi beruntun yang menghampiri kehidupan beliau: sang ayah meninggal, lalu meletuslah Konflik Ambon. Beliau menceritakan dengan sangat detail bagaimana dulu keadaan yang beliau alami saat konflik. Mulai dari apa yang beliau lakukan saat meletusnya konflik tersebut, hingga sebuah cerita yang tak pernah beliau lupakan sampai saat ini. Waktu itu, di tengah-tengah medan peperangan yang sedang memanas, beliau bersama rekan-rekannya yang lain mendapatkan hujan peluru yang luar biasa. Sambil berlari ketakutan, beliau menyaksikan bahwa rekan-rekan di kanan-kirinya mulai bertumbangan. Satu persatu mereka kehilangan nyawa. Di tengah-tengah keadaan mencekam ini, beliau mengucapkan sebuah doa yang amat menakjubkan “Ya Allah, jika memang Kau menginginkanku mati hari ini, maka matikanlah aku sebagai syuhada. Dan jika Kau izinkan aku tetap hidup, maka jadikanlah hidupku penuh kemanfaatan bagi orang lain”
Dan, kata pemilik raihanshop.com kepada kami saat diskusi sore tadi, “Saya tidak tahu apa yang diinginkan Allah. Saya hanya ber-Husnudzonbahwa kesempatan hidup ini diberikan agar saya bisa menebarkan manfaat kepada yang lainnya.” Beliau mengucapkan dengan penuh keyakinan. Dan saat itulah, kami terpesona. Hehehe.
Kita tahu bahwa konflik di Ambon waktu itu berlangsung cukup lama, dan tentu keadaan sangat tidak kondusif untuk aktivitas pendidikan. Maka Mas Fitra memutuskan untuk keluar dari Ambon. Kemana? Jakarta. Kenapa memilih Jakarta? Tidak tahu. Disana tinggal dengan siapa? Tidak tahu. Ke Jakarta dengan biaya siapa? Tidak tahu. Semua serba tidak tahu. Pokoknya, beliau hanya punya Allah, dan bagi beliau, modal itu sudah cukup untuk memulai sebuah perjalanan kehidupan.
Akhirnya beliau ke Jakarta sendirian tanpa kenalan. Bermodalkan uang tabungan sang nenek –entah ini tabungan beliau berapa tahun-, orang yang pernah menaikkan omset suatu perusahaan dari 2 Milyar menjadi 14 Milyar ini, berangkat ke Jakarta dengan kapal laut. Empat hari empat malam beliau di atas lautan. Begitu sampai di Jakarta, celingak-celinguk kanan kiri, tanya sana-sini, dipertemukanlah beliau seorang saudaranya dari Ambon. Saudaranya ini sangat membantu kehidupan Mas Fitra selama di Jakarta, hingga beliau berhasil masuk ke SMAN 13 Jakarta. Disana perjuangan beliau tidak berhenti walau sejenak. Tinggal di tempat saudara yang juga bukan orang kaya, beliau harus berjualan minyak di pasar dan menjadi loper koran kalau mau tetap hidup dan sekolah. Itu semua beliau alami, hingga suatu hari, saat sedang berjaga di kios, beliau melihat ada pengumuman UMPTN, dan nama beliau ada disana! Diterima di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Langsung saja, seisi pasar menyalami dan mengucapkan selamat kepada beliau. Ceritanya, ada lebaran dadakan hari itu. Hehe.
Lepas dari SMA, beliau ke Solo untuk melanjutkan pendidikan. Ternyata, episode perjuangan itu tak kunjung berakhir. Sekali lagi Mas Fitra menunjukkan, bahwa semua ini bukanlah tentang secepat apa kita berlari, tapi seberapa lama kita mampu bertahan untuk tetap berdiri. Tanpa modal apapun, beliau nekat kuliah di Solo. Yang unik adalah saat saya tanya bagaimana dulu membayar uang masuk dan keperluan lain untuk kuliah. Kata beliau “Saya lupa. Hehe”. Iya deh, mas.. Hehe.
Ini yang paling seru: karena harus tetap hidup, maka sejak semester dua beliau menjalankan dua aktivitas yang menghasilkan uang. Pertama, beliau dan 4 orang rekannya menjalankan usaha pembukuan untuk toko-toko di sekitar Solo. Hanya saja, pemasukan dari kantong ini hanya mengalir saat ada proyek. Di luar itu, beliau harus memutar otak. Dan, karena memang tidak ada pilihan lain, beliau terpaksa, sekali lagi, benar-benar terpaksa untuk menjadi seorang pengamen! Kisah mahasiswa semester 2 ngamen di hari pertamanya ini yang tadi membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Jadi ceritanya, Mas Fitra berangkat ke Terminal Tirtonadi dengan gitar pinjaman. Disana, dengan wajah tanpa dosa, langsung saja dia naik bis yang sedang berhenti. Lagu pertama selesai, dia lihat ke jendela. Dan, wow! Segelintir pengamen lain telah menunggunya di bawah. Ternyata, itu adalah lahan milik sekelompok pengamen! Dan beliau baru sadar bahwa sedang masuk ke dalam kandang singa. Gawat! Tapi beliau yakin bahwa selalu ada jalan keluar. Lalu apa yang beliau lakukan? Menyanyikan lagu kedua! Ternyata ini fatal. Selesai lagu kedua, komplotan pengamen itu justru semakin banyak. Karena tak tahu harus bagaimana lagi, beliau malah teruskan ke lagu yang ketiga! Sumpah ini benar-benar konyol. Jelas, justru semakin banyak pengamen yang berkumpul untuk siap-siap menghajar beliau.
Karena bis sudah mau berjalan, mau tak mau dia harus turun. Dan benar, di luar bis, pengamen-pengamen yang sejak tadi berkumpul itu sudah siap dengan bogem mereka masing-masing. Sebelum keluar dari bis, beliau berdoa untuk solusi yang sepertinya sudah tak mungkin datang lagi. Namun Allah tetaplah Allah Yang Maha Baik. Solusi itu akhirnya datang juga! Beliau tiba-tiba teringat cerita Hudzaifah Bin Yaman, sahabat Rasulullah Shalallaahu ‘Alayhi Wa Sallam yang diperintahkan untuk menjadi mata-mata. Dan itu yang beliau praktikkan. Maka begitu keluar dari bis, beliau katakan pada pengamen-pengamen yang mengerubunginya itu.
“Sebentar-sebentar. Saya ini mahasiswa, sedang penelitian. Mana bos kalian? Saya mau ketemu. Kamu, bosnya? Atau kamu? Atau kamu yang di belakang itu?” Dengan santainya beliau tunjuk muka mereka satu per satu. Yang awalnya emosi, kini mereka malah terkagum-kagum “Wah, ada mahasiswa. Mau penelitian, lagi! Kan keren.” begitu kira-kira. Maka akhirnya, beliau diantar ke bos para pengamen itu. Bocah semester dua ini pun sok-sok-an melakukan wawancara penelitian. Amanlah nasib beliau saat itu. Namun, uang hasil ngamen hari itu terpaksa diberikan karena si bos mengatakan “Mas, anda kan mahasiswa, udah nggak butuh duit itu kan? Sini, duitnya ditinggal aja”. Ya udah deh, 1500 melayang begitu saja. pasca kejaidan itu, beliau tak pernah ngamen di bis yang sedang berhenti. Jadi beliau selalu mencari bis yang sedang berjalan sebagai panggung beliau.
Sekali lagi, beliau melakukan semua ini karena terpaksa. Bagaimana tidak, beliau sering menangis sebelum tidur karena harus memaksa matanya terpejam dalam keadaan perut melilit karena lapar. Maka beliau berusaha melakukan apapun yang beliau bisa lakukan. Dan ngamen ini beliau lakukan sampai di semester tiga. Memasuki semester berikutnya, Mas Fitra mulai mendapatkan penghasilan lain dari bisnis dan beasiswa. Beliau juga mendapatkan beasiswa ikatan dinas dari sebuah BUMN yang sudah “menjamin” kehidupannya selepas lulus kuliah.
Satu hal besar yang tak bisa dilepaskan dari seorang Mas Fitra adalah: keberanian dalam membuat keputusan besar. Salah satu diantara keputusan besar itu adalah, menikah di semester enam! Bayangkan, pemuda dua puluh tahun yang belum lulus dan bukan anak orang kaya ini berani meminang perempuan dalam usia semuda itu. Keputusan besar lain yang beliau ambil selain itu adalah: keluar dari perusahaan setelah dua tahun bekerja karena ingin menjadi pengusaha! Coba kita lihat. Waktu beliau keluar itu, Mas Fitra harus menanggung seorang istri dan seorang anak! Bagaimana mungkin seorang pengangguuran harus menghidupi seorang istri dan seorang anak? Maka beliau harus bertindak. Lalu apa yang beliau lakukan?
Selama menjadi pengangguran, beliau selalu berdandan rapi dan keluar rumah sebelum jam 6 pagi. Kemana? Tidak tahu. sama seperti waktu beliau berangkat ke Jakarta. Beliau tidak tahu. Beliau hanya tahu bahwa beliau punya Allah yang siap menuntun jalan beliau. Bahkan saat di luar rumah pun, beliau bingung, “Hari ini gua jalan ke kanan apa ke kiri yak?” Ampun, deh. Jagoan banget abang kita ini. Kata beliau “Pokoknya jangan sampai kita itu diam. Bismillah, jalan aja dulu. Mau nanti akhirnya gimana, itu urusan Allah. Rezeki itu ada di depan kita. maka kita harus jalan ke depan agar bisa ketemu. Lha kalau kita diam, gimana mau ketemu?”
Tiga bulan mengalami fase-fase itu, akhirnya sampailah beliau pada sebuah kejadian unik. Oiya, saya lupa menyampaikan sesuatu. Jadi, Mas Fitra ini mempunyai kemampuan Interpersonal yang benar-benar diatas rata-rata. Easy Going banget lah pokoknya. Saat mahasiswa saja, beliau bisa menjalin hubungan yang sangat dekat mulai dari satpam, sesama dosen, hingga kepada rektor. Pernah suatu kejadian, waktu jadi mahasiswa baru, yang seharusnya masih takut-takut sama dosen, beliau samperin seorang dosen yang badannya gemuk dan dengan santainya mengatakan “Pak, bapak nggak pernah olahraga ya?” Bayangkan. Mahasiswa baru sudah berani seperti itu. Dan apa yang terjadi setelahnya? Sang dosen justru minta diajari renang sama Mas Fitra! Kata Mas Fitra tadi “Alhamdulillah, sekarang beliau udah langsing. Haha.”
Baik, lanjut ke tiga bulan pasca mengalami fase-fase “pengangguran” tersebut. Suatu hari, beliau menghadiri sebuah seminar bisnis. Beliau duduk disamping dua pengusaha. Seperti biasa, beliau membuka obrolan ringan sebelum sesi materi dimulai. Beliau mulai dari orang di sebelah kirinya. Dari obrolan singkat itu, akhirnya beliau tahu bahwa orang ini adalah pengusaha yang omsetnya puluhan juta per bulan. Wah, hebat juga! Lalu beliau bergeser ke orang di samping kanannya. Namanya Pak Haryadi. Setelah ngobrol panjang lebar, Mas Fitra ini memberikan masukan bisnis kepada beliau –yang ternyata adalah pengusaha percetakan-. Kata Mas Fitra “baiknya perusahaan bapak begini dan begini. Karyawannya diberikan ini dan ini, lalu begini-begini” beberapa saran dan masukan bisnis beliau berikan. Pak Haryadi Pun mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan Mas Fitra. Hingga sampailah pada acara inti. Moderator membacakan CV pembicara. Menyebutkan bahwa pembicara yang akan tampil ini adalah seorang pengusaha dengan omset miliran rupiah per bulan. Lalu Moderator itu mengakhiri dengan “Mari kita sambut pembicara kita kali ini, Pak Haryadi! Beri tepuk tangan yang meriah!!”
Jederrr!!!!! Ibarat kena petir di siang bolong. Ternyata, orang yang tadi beliau “ajari” cara berbisnis itu adalah orang kaya raya yang di seminar itu menjadi pembicara! Jelas Mas Fitra malu. Tapi, beliau tidak lari. Selepas acara, beliau meminta maaf. Beliau katakan “Maaf pak, saya tidak tahu kalau ternyata bapak ini orang hebat”. Betapa terkejut Mas Fitra saat Pak Haryadi ini justru mengatakan “Nggak papa mas, Yang Mas Fitra sampaikan tadi benar kok. Besok main ke rumah saya ya.”
Besoknya Mas Fitra main ke rumah Pak Haryadi. Memang benar, beliau kaya raya nggak ketulungan. Gapura rumahnya saja udah kayak gapura RT. Besar luar biasa. Setelah ngobrol sana-sini, Mas Fitra ditanya, “Mas Fitra ada rencana bisnis apa?”. Lalu beliau menyampaikan bahwa ingin membangun Warung Internet. Setelah ditanya berapa biaya untuk membeli tempat dan sebagainya, Pak Haryadi ini mengeluarkan cek senilai 850 juta dan menyerahkannya langsung ke Mas Fitra! “Udah, segera buat warnet, nanti bagi hasilnya kita urus belakangan.”
Allahu Akbar! Rejeki anak sholeh bener dah, bang..
By The Way, nama warnetnya adalah Spider Net. Anak UNS pasti tahu warnet ini lah ya. Tapi warnet ini udah beliau jual. Ke siapa? Ke anaknya Pak Haryadi. Balik lagi deh ke keluarga Haryadi. Hehe.
Dari bisnis warnet itulah karir pengusaha Mas Fitra dimulai. Mas Fitra kini menjalankan beberapa perusahaan. Satu milik beliau, sedangkan yang lainnya adalah perusahaan orang lain yang beliau garap dengan sangat luar biasa. Kini, Aktivis Dakwah Kampus yang dulu pernah aktif di Badan Pengamalan dan Pengembangan Islam (BPPI) UNS ini adalah pengusaha kaya raya yang telah menginspirasi ribuan orang melalui pelatihan, sekolah bisnis, dan kelas-kelas bisnis yang beliau buka baik melalui online maupun secara langsung.
Dua hal besar yang bisa kita pelajari dari seorang Mas Fitra:
- Yakinlah bahwa ketika kita tidak tahu jalan, kita selalu punya Allah Yang Maha Tahu. Maka, saat kita tidak tahu kemana harus melangkah, dekat-dekat saja sama Allah, biar dikasih tahu.
- Kekuatan membangun relasi itu adalah modal paling besar yang harus kita siapkan. Allah itu Maha Pemberi Rezeki. Tapi, Dia “perlu” orang lain sebagai sarana penyalurannya. Maka, jika kita mau dapet banyak rezeki, akrabi saja banyak orang, agar lebih banyak saluran rezeki yang terbuka untuk kita. Nah, Rasulullah Shalallaahu ‘Alayhi Wa Sallam paham betul konsep ini, dan beliau ingin agar umatnya juga merasakan manfaatnya. Maka, beliau Shalallaahu ‘Alayhi Wa Sallam perintahkan kita menjalin silaturrahim.