Menurut Anda, apakah ada merek papan
atas yang tidak beriklan? Sebagian besar dari kita pasti menganggap
bahwa iklan adalah alat marketing communications yang paling
efektif. Kalau tidak beriklan, mungkinkah sebuah merek bisa menjadi
terkenal dan besar?
Pertanyaan ini pernah muncul dalam
diskusi kelas marketing communication LSPR Jakarta, saat membahas
tentang perancangan pesan dalam marketing communications.
Dalam diskusi tersebut pembicara
bertanya pada seorang mahasiswa, “Apakah Anda seorang penggemar
Starbucks?” Mahasiswa ini menjawa “Ya”. Tapi apakah kita pernah melihat
iklan Starbucks?
Kalau kita perhatikan, nama Starbucks
sering tercantum di media utama, namun ternyata yang beriklan bukanlah
Starbucks. Ini adalah bentuk co-branding Starbucks dengan bank lokal,
misalnya penawaran kartu kredit. Dalam posisi ini, Starbucks lebih
kepada ingredient brandnya.
Besar Tanpa Beriklan ala Zara
Sebagian besar dari kita pasti sudah
mengenal brand Zara. Ini merupakan brand pembuat busana kelas menengah
asal Spanyol yang kini menjadi merek ritel fashion terbesar di dunia.
Pada tahun 2012 silam, perusahaan induk Zara – Inditex – telah memiliki
lebih dari 5.900 termasuk lebih dari 2.000 di Spanyol. Ketika Eropa
mengalami resesi beberapa tahun yang lalu, brand Zara justru naik ke
puncak bisnis fashion dunia.
Uniknya, ternyata Zara tumbuh besar menjadi brand fashion ternama dengan sedikit atau bahkan tanpa kampanye pemasaran oleh mereka sendiri. Zara juga tidak terlalu sering nge-tweet. Ini bukanlah sesuatu yang sebagaimana bisnis retail lainnya lakukan.
Menurut keterangan dari New York Times, Zara bahkan tidak punya divisi pemasaran dan tidak terlibat dalam kampanye mencolok, seperti yang sering dilakukan oleh pesaingnya yang bekerjasama dengan perancang busana terkenal seperti Stella McCartney, Karl Lagerfeld, Martin Margiela dan Marni.Perusahaan bahkan tidak membuat iklan yang benar, tidak ada iklan sama sekali. Meski reputasinya tidak dibangun melakukan periklanan, sebenarnya Zara banyak “beriklan”. Pertama, Zara mendapat banyak perhatian melalui promosi dari mulut ke mulut. Menurut penelitian, para pelanggan dan pengguna tidak malu memberitahu mereka tentang Zara kepada teman-temannya. Zara juga mendapatkan keuntungan dari dukungan para selebriti yang dianggap sebagai ahli mode, Duchess of Cambridge salah satunya.Zara tidak menjalin kemitraan dengan desainer papan atas, dan tidak mencoba memberi produknya dengan label kelas atas. Perancang busana Zara benar-benar anonim, beberapa orang mengatakan ini karena mereka lebih berperan sebagai mesin fotokopi daripada perancang.
Pemasaran Inditex (perusahaan induk)
memang benar-benar seperti bisnis real estate. Perusahaan melakukan
investasi besar-besaran dalam keindahan, daya tarik kesejarahan dan
lokasi toko-tokonya.
Pendiri Zara, Mr Ortega Gaona, termasuk
dalam daftar salah satu orang terkaya di dunia. Ia tidak suka
diwawancara. Demikian pula dengan penggantinya, Pablo Isla. Perwakilan
PR yang berbicara dengan The New York Times menolak memberikan namanya
karena peraturan “kerendahan hatian” sang majikan.
Kalau Tidak Beriklan, Lalu Apa yang Dilakukan Zara?
Lalu bagaimana Zara bisa menjadi besar?
Sederhana. Mereka selalu mengikuti satu aturan: dengarkan suara
pelanggan Anda, tanggapi dan berikan sesuatu sesuai dengan mereka
inginkan. Zara tak pernah memberikan apa yang Zara katakana, tapi yang
konsumen inginkan yang Zara berikan.
Zara menyediakan busana perancang dengan
harga terjangkau karena memiliki sistem informasi pemasaran yang
efektif. Mereka seakan menangkap desain mode dari panggung catwalk atau
konser dan membawanya ke toko mereka dengan sangat cepat.
Bagaimana bisa? Semua itu Zara dapatkan
dari umpan balik yang diberikan pembeli dan Zara memperbaiki masalah
yang pelanggan sampaikan dengan cepat agar mereka tetap bahagia. Ini
yang kemudian diceritakan pelanggannya ke teman-temannya. Di sini
strategi word of mouth bekerja.
Semua pelanggan Zara mengatakan hampir
semua produknya berkualitas layak dengan harga yang sederhana. Yang saya
baca dari beberapa publikasi, informasinya semua produk Zara dirancang
menyerupai kreasi rumah mode kelas atas.
Zara memantau tren di antara basis
pelanggan di seluruh dunia dengan sangat hati-hati, dan merespons
dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa. Setiap karyawannya
dianjurkan untuk bertanya kepada pelanggan tentang apa yang mereka
inginkan dan mencatat tanggapan mereka. Hebatnya, selera pelanggannya
ternyata memiliki kemiripan baik yang di Tokyo, Manhattan, maupun
Istanbul.
Produk Zara Cepat Laku karena Terbatas
Perancang Zara hanya membuat beberapa
salinan dari setiap item. Tak semua sentuhan desain dari busana yang
dilihat pelanggannya pada merek lain ditirunya, karena toh tak semua
sentuhan desain perancang terkenal pun bisa diminati pelanggannya.
Karena itu tak mengherankan bila setiap
lini produknya terjual dengan cepat begitu produk baru tiba di toko.
Intinya, ketika pelanggan cerdas melihat barang menarik di Zara, dia
tahu bahwa barang itu tidak akan lama dan harga tidak akan lebih rendah
di tempat lain.
Setiap produk adalah “edisi terbatas.”
Dengan cara seperti ini, Zara seakan menggiring pelanggannya masuk dalam
pembelian impulsif. Ini adalah strategi yang brilian.
Dengan lebih 5000 toko di 77 negara yang
berada di dekat toko high-end lainnya, shopsign Zara di gerai ritelnya
mempromosikan merek Zara. Pakar mereknya memastikan untuk menghias
setiap cabang dengan baik sehingga nama Zara tidak akan dikaitkan dengan
estetika kelas bawah.
Pakar strateginya juga selalu
menyarankan Zara membeli gedung di dekat butik kelas atas sehingga
pembeli dapat melihat produk Zara yang lebih murah saat orang
menjelajahi toko Gucci.
Ada yang mengatakan merek Zara tidak
bisa bertahan karena tidak akan mampu mempertahankan keterjangkauannya
dalam menghadapi kenaikan biaya produksi. Tapi saya meragukan itu. Anda
mungkin tidak mengetahuinya setelah membalik-balik Vogue atau WWD, Zara
saat ini menguasai dunia mode. Tidak percaya? Datang saja ke outletnya
yang di Pondok Indah Mall 2 Jakarta Selatan.
Artikel ini disadur dari majalah MIX